ANALISIS STRUKTUR DALAM CERPEN “Robohnya Surau Kami”
KARYA AA Navis
A.
Deskripsi
Data
Minangkabau sudah sejak
lama dikenal sebagai daerah yang banyak melahirkan sastrawan ternama yang
diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia. Kenyataan ini didukung oleh keikutsertaaan
sastrawan yang berasal dari Minangkabau dalam perkembangan sastra moderen
Indonesia. Nama-nama seperti AA Navis, Marah Rusli, Hamka, Nur Sutan Iskandar
dan yang lainnya.
a.
Biografi
Tokoh
1.
Ali
Akbar Navis
Penulis lahir di
Padang,17 November 1924. Istri bernama Aksari Yasin. Anak bernama Dini Akbari,
Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto amanda dan Rika Anggraini. AA
Navis adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Karyanya
yang paling fenomenal adalah cerita pendek “Robohnya Surau Kami” yang ia tulis
pada 1955. Navis dijuluki sebagai sang pencemooh karena tulisannya yang
mengandung kritik ceplas-ceplos dan apa adanya.
b. Sinopsis
Cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya AA Navis
Cerpen karya AA Navis
mengisahkan seorang kakek yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri
dengan pisau yang diasahnya dengan tajam. Di
karenakan kakek mendengar cerita bualan seseorang yang dikenalnya.
Sehingga si kakek merasa sakit hati lalu bunuh diri. Di suatu tempat ada sebuah
surau tua yang nyaris ambruk hanya karena seseorang yang datang kesana dengan
keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini
masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Namanya disebut
Garin.
Meskipun orang ini
dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling penting yang bisa
membuatnya bertahan hidup. Yaitu, dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau.
Dari pekerjaan ini lah dia mengais rezeki seperti uang, makanan, rokok, dan
kue-kue.
Suatu ketika datanglah
Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau. Lalu, keduanya terlibat
berbincangan yang mengasyikkan. Akan tetapi, sepulangnya Aji Sidi, si kakek
langsung murung, sedih dan kesal. Kerena dia merasakan apa yang diceritakan Ajo
Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk si kakek.
Dia memang tidak pernah
mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri
sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya hanya
untuk Tuhannya. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, dan berdoa kepada Tuhannya.
Apakah semua ini yang dikerjakannya semuannya salah dan dibenci Tuhan? Atau
sama sperti Haji Saleh yang dimata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia
lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan
hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
b.
Analisis
Data
1. Cerpen “Robohnya Surau
Kami” Karya AA Navis
a.
Struktur
Cerpen
1)
Alur
Untuk menemukan struktur alur yang
digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini, peneliti berusaha melihat
rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian peristiwa terebut
adalah sebagai berikut.
1.
Keberadaan seorang
kakek yang menjadi Garin disebuah surau tua beberapa tahun yang lalu.
2.
Tapi kakek ini sudah
tidak ada lagi sekarang, ia sudah meninggal.
3.
Dan tinggalah surau itu
tanpa penjaganya.
4.
Hingga anak-anak
menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai
mereka.
5.
Jika Tuan datang
sekarang akan menjumpai gambaran yang mengesankan.
6.
Suatu kesucian yang
bakal roboh, dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya.
7.
Secepat anak-anak
berlari didalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya.
8.
Terutama sifat masa
bodoh manuusia sekarang.
9.
Dan keladi dari sebuah
kerobohan ini adalah sebuah dongengan yang tidak dapat disangkal kebenarannya.
10.
Sekali hari aku datang
pula mengupah kakek, karena aku suka memberinya uang.
10.1
Tapi sekali ini kakek
begitu muram, seolah-olah ada yang disermbunyikan
kakek dari ku
10.2
aku membranikan diri
untuk menyakan penyebab kenapa kakek seperti ini
10.3
kakek tak menyahut
11.
maka aku ingat Aji
Sidi, si pembual itu
12.
sudah lama aku tak
ketemu dia, dan aku ingin ketemu dia lagi
13.
tiba-tiba aku ingat
lagi pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya.
14.
Apakah Ajo Sidi telah
membuat bualan tentang kakek? Dan itukah yang mendurjankan kakek? “ apa
ceritanya kek?”
15.
Mudahan pisau cukur
ini, yang kuasah tajam-tajam menggoroh tenggorokannya
16.
Kakek pun marah
17.
Ia tak mengatakan aku
terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya
18.
Dan aku melihat mata
kakek berlinang
19.
Kekek bercerita kembali
20.1 pada sewaktu-waktu, “ kata Aji Sidi memulai, diakhirat Allah akan
memeriksa orang-orang sudah berpulang
20.2 para malaikat bertugas disampingnya
20.3 diantara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia dinamai Haji
Saleh
20.4
haji saleh itu tersenyum saja, karena
ia sudah begitu yakin masuk surga
20.5 dan tuhan pun memeriksa segala sifat-Nya
21.6 lalu tuhan mengajukan pertanyaan pertama
21.7 Engkau?
21.8 Aku Saleh, tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.
21.9 Aku tidak tanya nama. Nama bagiku tak perlu, nama hanya membuat
engkau di dunia
21.9 Setiap hari aku menyembah Engkau, setiapa masa aku menyebut
namam-Mu
21.10 Sudah kuceritakan semua ya Tuhan ku.
21.11 Masuk lah kamu ke neraka disana tempat mu
21.12 Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa keneraka
21.22 karena Tuhan tidak suka hanya akhirat yang di tekuninya tapi dunia
tidak!
21.23 demikian cerita Ajo Sidi yang ku dengar dari kakek
21.24 Dan besoknya, ketika aku mau turun pagi-pagi, istri ku berkata apa
aku tak pergi menjenguk.
21.25 ya tadi Subuh kakek kedapatan mati disuraunya dalam keadaan yang mengerikan
sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.
2)
Penokohan
a.
Tokoh
Aku
Tokoh
yang begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah
si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang
lain.
“tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan
kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Aji Sidi tidak membuat bualan tentang
Kakek? Dan bualan itu yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya
pada Kakek lagi, apa ceritanya kek?”
b. Si
kakek
Tokoh
yang menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkaan sebagai
orang yang mudaha dipengaruhi dan gampaang mempercayai omongan orang. Pendek
akal dan pikirannya, terlalu mementingkan diri sendiri.
Kakek
mudah termakan cerita Ajo Sidi, padahal yang namanya cerita tidak perlu di
tanggapi dengan serius. Seandainya si Kakek panjang akal dan pikirannya serta
kuat imannya tidak mungkin lah dia termakan dengan omongan Ajo Sidi, dan segera
bertobat sehingga si Kakek bisa membenahi diri kearah yang lebih baik lagi.
Bukti
si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri melaluli ucapannya :
“sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku
ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain tahu?
Tak terpikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah SWT”.
c. Ajo
Sidi
Tokoh
yang sangat istimewa. Tokoh ini desebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini
muncul melalui tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, ajo sidi disebutkan dengan
tokoh bual yang hebat karena siapapun yang mendengarnya pasti terpikat.
Bukti:
“maka aku ingat Ajo Sidi,si pembual itu.
Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang
mendengar bualannya. Bisa mengikat bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari.
Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaanya.
d. Haji
Saleh
Pemunculan
sengaja dengan menyidir dan mengejek orang lain. Dengan wataknya yang sudah
dipersiapkan.
3)
Latar
Keberadaan
sebuah dunia yang dibangun oleh si pengarang. Latar menyangkut dimana peristiwa
tersebut berlangsung. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a. Latar
tempat
Latar
tempat dalam cerita ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat
pasar, di surau, dan sebagainya:
“kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang kekota kelahirankumdengaan menumpang bis,
Tuhan akan berhenti didekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke
barat.
b. Latar
waktu
“pada
sewaktu-waaktu” kaata Ajo Sidi memulai, “ di akhirat Allah akan memeriksa orang-orang yang sudah berpulang.
4)
tema
merupakan pokok
permasalah dalam sebuah cerita dan ajaran moral atau pesan yang ingin
disaampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Tema persoalan cerpen Robohnya
Surau Kami terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan
Ajo Sidi. Dibuktikan pada kutiapan
“tidak, kesalahan engkau, karena
engkau terlalu mementingkan dirimu sendiori. Kaau taakut masuk neraaka, karena
itu kau taat bersembahyang. Taapi engaku melupakan kaum mu sendiri, melupakan
kehiduapan anak istrimu sendiri, sehingga mereka kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahan mu yang terbesar, terlalu egois, padahal engkau di dunia berkaum,
bersaudara semuanya, tapi engaku tidakl memperdulikan mereka sedikit pun
Jadi dari kesimpulan fakta-fakta
diatas maka tema cerpen ini adalah “seorang kepala keluarga yang lalai
menghidupi keluarganya.”
5)
Amanat
a. jangan
cepat marah kalau ada orang yang mengejek. Amanat dibuktikan dengan kutipan:
“marah?
Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang itu menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadah
ku rusak karenanya.
b. Jangan
cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan. Dibuktikan pada:
“alangkah
tercengangnya Haji Saleh, karena dineraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya.
c. Jangan
menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, dibuktikan pada kutiapan:
“kenapaa
engkau membiarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, serta
harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.
Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadah
saja tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya AA
Navis
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa.Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan.Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang.Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang.Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya.Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek.Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang.Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut.Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu.Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi.Aku senang mendengar bualannya.Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya.Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya.Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek?Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek?Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah?Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua.Orang tua menahan ragam.Sudah lama aku tak marah-marah lagi.Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya.Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan.Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya.Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja.Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini.Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku?Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi.Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi.Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan?Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu?Tak kupikirkan hidupku sendiri.Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah.Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.Umpan neraka.Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu?Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya?Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal.Aku bangun pagi-pagi.Aku bersuci.Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya.Aku sembahyang setiap waktu.Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.Astagfirullah kataku bila aku terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum.Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang.Aku jadi belas kepadanya.Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek.Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya.Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang.Para malaikat bertugas di samping-Nya.Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia.Begitu banyak orang yang diperiksa.Maklumlah dimana-mana ada perang.Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk.Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya.Susut di muka, bertambah yang di belakang.Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu.Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam.Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu.Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga.Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi.Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku.Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula.Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya.Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman?Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita.Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran.Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar.Benar.Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes.Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh.‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali.Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju.Setuju.Setuju.’Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya.Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar.Benar.Benar.Tuhan kami.Itulah negeri kami.’Mereka mulai menjawab serentak.Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali.Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar.Benar.Benar.Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya.Ya.Ya.Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku.Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku.Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu.Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar.Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji.Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas.Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin.Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja.Tidak.Kamu semua mesti masuk neraka.hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak.Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri.Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang.Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya.Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek.Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya.Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali.Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga!Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya.Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah.Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?""Kerja.""Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.“ya, dia pergi kerja.”
Maaf,bukankah point yg diatas itu unsur intrinsiknya bukan strukturnya🙏
BalasHapus